Petitum Permohonan |
II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA
- Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
- Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
- “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
- Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka. Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SPGL/1727/IX/2015/Ditreskrimum tertanggal 17 September 2015 tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama kali oleh Termohon pada pada saat setelah ditetapkan sebagai Tersangka yakni pada tanggal 21 September 2015.
Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
- Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.
2. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON
- Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SP.Ka/01/1/2018/polsek Mjrt tertanggal 05 januari 2018 s/d 06 januari 2018. Bahwa apabila mengacu kepada surat panggilan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
- Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan(hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
- Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.
- Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
3. PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, AKAN TETAPI TERUS-MENERUS DILAKUKAN PENYIDIKAN
- Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 05 januari 2018 s/d 06 januari 2018, pada tanggal 05 januari 2018 Pemohon masih dipanggil untuk dimintai keterangan untuk yang pertama kalinya melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SP.Ka/01/1/2018/polsek Mjrt tertanggal 05 januari 2018. Kemudian telah terdapat 2 (dua) kali pengembalian berkas perkara dari polsek Mojoroto (P-19) berdasarkan Surat (P-19) Kejaksaan Negri Kediri No. SP.Han/03/1/2018/polsek Mjrt tertanggal 06januari 2018, akan tetapi Pemohon masih dipanggil pada tanggal 24Maret 2018diperintahkan melakukan penangkapan berdasarkan surat Panggilan Nomor SP.Kap/08lll/2018/ polsek Mjrt tertanggal 6 Maret 2018 tidakprocedural dan pemohon tidak pernah dipanggil sebagai saksi.
- Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana berkas perkara telah dinyakan lengkap (P-21), akan tetapi masih dilakukan pemanggilan untuk dimintai keterangan, dengan demikian sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian “PENYIDIKAN” itu sendiri. Hal mana dalam proses penyelidikan belum ada tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan baru ditemukan tersangka. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.
Bahwa hal tindakan Termohon telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b yang pada intinya menyatakan dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Sehinga dengan demikian apabila telah dinyatakan (P-21). Penyidik tidak dapat lagi melakukan pemeriksaan guna kepentingan penyidikan.
- Bahwa berdasar pada uraian diatas, dimana penyidik telah menyatakan (P-21) akan tetapi masih dipanggil untuk dilakukan pemeriksaan guna kepentingan penyidikan, maka surat panggilan tersebut merupakan panggilan yang tidak sah dikarenakan Penyidik tidak memiliki kompetensi guna melakukan Penyidikan, karena beban tugas dan tanggung jawab telah berpindah kepada Jaksa Penuntut Umum. Untuk itu tindakan Penyidik yang demikian merupakan tindakan yang unprosedural, sehingga dengan demikian penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dikategorikan cacat hukum.
4. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA
- Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana olehpolsek mojoroto resort kediri kota Reserse Kriminal Umum kepada Pemohon hanya berdasar pada saksi - saksi Keterangan Saksi, 1 keterangan ahli hukum yang belum diketahui oleh tersangka, dan dokumen yang telah disita, hal ini berdasar pada surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SP.Ka/01/1/2018/polsek Mjrt tertanggal 05 januari 2018 s/d 06 januari 2018.
- Bahwa sebagaimana diketahui melalui pengembalian berkas perkara oleh Kejaksaan Negri Kediri No. SP.Han/03/1/2018/polsek Mjrt tertanggal 06 januari 2018, terdapat 2 (dua) kali pengembalian berkas perkara dari Kejaksaan Negri Kediri(P-19) berdasarkan Surat (P-19) Kejaksaan Negri KediriNo. SP.Han/03/1/2018/polsek Mjrt tertanggal 05 januari 2018 dan Surat (P-19) No. SP.Han/03/1/2018/polsek Mjrt tertanggal 06 januari 2018, dimana masih terdapat kekurangan salah satunya alat bukti yang harus dilengkapi baik secara formil maupun materiil.
- Bahwa melalui surat Kejaksaan Negri Kediri tanggal 05 januari 2018 telah diyatakan bahwa dalam waktu 14 (empat belas) hari saudara melengkapi kelengkapan formil dan materil berkas perkara. kemudian melalui surat kejaksaan tinggi tanggal 05 januari 2018s/d 06 januari 2018.menyatakan masih terdapat kekurangan untuk dilengkapi. Terhadap 2 (dua) suratKejaksaan Negri Kediri tersebut, Termohon tidak dan atau belum pernah melengkapi yang sedianya wajib dilengkapi oleh Termohon, akan tetapi Termohon tetap menyatakan diri telah lengkap dengan menyatakan (P-21) melalui surat Panggilan Nomor SP.Kap/08lll/2018/ polsek Mjrt tertanggal 24 Maret 2018.
- Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh polsek mojoroto resort kediri kota Direktorat Reserse Kriminal Umum kepada Pemohon, mengingat dalam pemeriksaan oleh Termohon, termohon selalu mendasarkan pada alat bukti yang sebelumnya telah dinyatakan belum lengkap oleh Kejaksaan Negri Kediri.
- Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
5. PERBUATAN PEMOHON MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN
- Bahwa pembelian saham antara Pelapor dengan Pemohon dituangkan dalam bentuk Perjanjian Master Agrement tanggal ……………………, dan atas kesepakatan tersebut telah dibuat akta kesepakatan dua belah pihak. Terhadap perjanjian tersebut telah memunculkan perikatan antar kedua belah pihak yang bersifat pos factum, yaitu fakta terjadi setelah peristiwa yang dilaporkan oleh pelapor. Untuk itu hubungan hukum antara kedua belah pihak merupakan hubungan hukum yang bersifat keperdataan.
- Bahwa terdapat perbedaan antara Wanprestasi dan Penipuan. Wanprestasi dapat berupa: (i) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; (ii) melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (iii) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (iv) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut, serta bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata. Sedangkan penipuan masuk ke dalam bidang hukum pidana (delik pidana) (ps. 378 KUHP). Seseorang dikatakan melakukan penipuan apabila ia dengan melawan hak bermaksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain. “Melawan hak” di sini bisa dicontohkan memakai nama palsu, perkataan-perkataan bohong, dll.
- Bahwa berdasar pada kenyataan yang terjadi pada Pemohon, antara pemohon dengan pelapor diikat melalui perjanjian yang sama-sama beritikat baik untuk memenuhi perjanjian, tidak ada maksud melakukan penipuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, sehinga dengan demikian tidak tepat apabila Pemohon disangka melakukan dugaan Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena hubungan hukumnya merupakan hubungan hukum keperdataan.
Bahwa hal itu juga diperkuat oleh surat Kejaksaan Negri Kediri tanggal 24 Maret 2018.(Surat (P-21) Kejaksaan Negri Kediri No. SP.Kap/08lll/2018/ polsek Mjrt tertanggal 24 Maret 2018.telah menyatakan bahwa hubungan hukum yang dilaporkan oleh pelapor bukanlah termasuk tindak pidana penipuan atau Penggelapan melainkan masuk rana keperdataan dalam hubungannya dengan masalah Wanprestasi. Hal ini sejalan dengan perkara perdata yang masih berjalan di Pengadilan yang dimohonkan oleh Pemohon.
- Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tidak dapat dikatakan Pemohon dapat di kenakan Pasal-Pasal dalam dugaan tindak pidana Penipuan dan Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 dan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti halnya dilakukan Termohon kepada Pemohon.
6. PENGEMBALIAN BERKAS DARI KEJAKSAAN KE KEPOLISIAN DALUARSA (TIDAK SAH)
- Bahwa berdasar pada Pasal 138 ayat (2) KUHAP dinyatakan bahwa Penyidik wajib melengkapi berkas perkara dalam waktu 14 (empat belas) hari.
- Bahwa berdasar surat Kejaksaan Negri Kediri kepada Kepala POLSEK MOJOROTO RESORT KEDIRI KOTA pengembalian berkas perkara oleh Kejaksaan Negri Kediri, melalui Surat (P-21) Kejaksaan Negri Kediri No. SP.Kap/08lll/2018/ polsek Mjrt, bahwa Berkas perkara BUDI RAHARDJO Bin NAIM dikembalikan dikarenakan secara Formil dan Materiil tidak lengkap, serta diperintahkan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari untuk dilengkapi. Serta isi dari surat tersebut pada intinya menyatakan BAHWA HUBUNGAN HUKUM YANG DILAPORKAN OLEH PELAPOR BUKANLAH TERMASUK TINDAK PIDANA PENIPUAN DAN PENGGELAPAN MELAINKAN MASUK DALAM RANA KEPERDATAAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN MASALAH WANPRESTASI.
- Bahwa dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana diperintahkan oleh Kejaksaan Negri Kediri dan berdasar pada Pasal 138 ayat (2) KUHAP, Termohon tidak dapat melengkapi kekurangan berkas perkara dengan sebagaimana mestinya.
- Bahwa selain itu berdasar pada Surat dari POLSEK MOJOROTO RESORT KEDIRI KOTANomor SP.Ka/01/1/2018/polsek Mjrt tertanggal 05 januari 2018(copy terlampir) telah memerintahkan kepada Termohon untuk “MENGHENTIKAN PENYIDIKAN DENGAN ALASAN BUKAN MERUPAKAN TINDAK PIDANA”
- Bahwa berdasarkan Surat (P-19) Kejaksaan Negri Kediri No. SP.Ka/01/1/2018/polsek Mjrt tertanggal 05 januari 2018 (1 bulan setelah diperintahkan untuk melengkapi berkas perkara) bahwa Perbaikan Berkas perkara BUDI RAHARDJO Bin NAIMditerima pada tanggal 05 januari 2018 dan masih terdapat kekurangan baik dari segi Formil dan Materiil, dengan demikian membuktikan Penyerahan Kekurangan Berkas Perkara BUDI RAHARDJO Bin NAIM cacat prosedur, dimana melebihi jangka waktu yang ditentukan yakni maksimal 14 (empat belas) hari.
Apabila merujuk kepada surat Kejaksaan Negri Kediri tanggal 25 Maret 2018dan surat Kejaksaan Negri Kediri tanggal 05 januari 2018, terdapat tenggang waktu 1 (delapan) bulan guna melengkapi berkas perkara dari Kepolisian kepada Kejaksaan
- Bahwa kuat dugaan telah terjadi PENYALAHGUNAAN kewenangan dikarenakan kuat dugaan Penyidik dalam melengkapi kekurangan berkas Perkara kepada Kejaksaan Negri Kediriberdasarkan Surat (P-19) Kejaksaan Negri KediriSP.Ka/01/1/2018/polsek Mjrt tertanggal 05 januari 2018(copy terlampir) CACAT HUKUM, dikarenakan telah melebihi jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 138 ayat (2) KUHAP (kurang lebih 1 bulan dalam melengkapi kekurangan berkas Perkara), dan berdasarkan Surat (P-19) Kejaksaan Negri KediriNo.SP.Ka/01/1/2018/polsek Mjrttertanggal 05 januari 2018 (copy terlampir), Kejaksaan Negri Kediritelah menentukan sikap bahwa “HUBUNGAN HUKUM YANG DILAPORKAN OLEH PELAPOR BUKANLAH TERMASUK TINDAK PIDANA PENIPUAN MELAINKAN KEPERDATAAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN MASALAH WANPRESTASI”, serta diperkuat melalui Surat dari POLSEK MOJOROTO RESORT KEDIRI KOTA Nomor SP.Ka/01/1/2018/polsek Mjrttertanggal 05 januari 2018. (copy terlampir) telah memerintahkan bahwa “MENGHENTIKAN PENYIDIKAN DENGAN ALASAN BUKAN MERUPAKAN TINDAK PIDANA”.
- Berdasar pada analisa diatas, maka jelas penyerahan berkas perkara dari Termohon kepada Jaksa Penuntut Umum adalah cacat hukum, mengingat telah melewati jangka waktu yang telah ditentukan oleh KUHAP, untuk itu penetapan tersangka terhadap Pemohon tidak sah.
7. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
- Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
2. Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan.
Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dariketeraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
3. Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
4. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang.Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”.Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan.Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
5. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
– dibuat sesuai prosedur; dan
– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaiman telah PEMOHON uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.
6. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan PEMOHON dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
- “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
- Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
7. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Kejaksaan Negri Kediri yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum. |