Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI KEDIRI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2023/PN Kdr IMAM PUJI SANTOSO Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Timur Resor Kediri Kota Minutasi
Tanggal Pendaftaran Jumat, 17 Feb. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2023/PN Kdr
Tanggal Surat Jumat, 17 Feb. 2023
Nomor Surat 002 /P.Prapid-kediri/ARP/II/2023
Pemohon
NoNama
1IMAM PUJI SANTOSO
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Timur Resor Kediri Kota
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Adapun alasan - alasan PEMOHON mengajukan Permohonan Praperadilan ini adalah sebagai berikut :

 

DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

Lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Bab X bagian kesatu KUHAP dan bab XII Bagian kesatu KUHAP secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan kewenangan Aparat Penegak Hukum (Penyelidik/penyidik maupun penuntut umum) untuk menjamin perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia khususnya PEMOHON.

 

Secara filosofis dari tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan merujuk pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai filosofis itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

 

Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. 

 

Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (value) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

Proses Penangkapan dan Penahanan PEMOHON Tidak sah.

 

Bahwa PEMOHON dijadikan Tersangka berdasarkan Laporan Polisi Nomor : LP-B/ 188/XII/2022/SPKT/Polres Kediri Kota/Polda Jatim tanggal                 3 Desember 2022 .

 

Bahwa Terhadap diri PEMOHON telah dilakukan upaya penangkapan dan penahanan pada tanggal 14 Desember 2022 dan 15 Desember 2022 berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp-Kap/131/XII/RES.1.11/2022/Satreskrim tertanggal 14 Desember 2022 dan Surat Perintah Penahanan Nomor : SP-Han/124/XII/RES/1.11/2022/Satreskrim tertanggal 15 Desember 2022.

 

Bahwa Upaya Paksa Penangkapan dan Penahanan PEMOHON dilakukan sebelum ada Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dan Pemeriksaan Tersangka sebagai saksi.

 

Bahwa  Termohon melakukan Penangkapan dan Penahanan tanpa disertai dengan Proses Penyelidikan, Bahwa Laporan Polisi yang dipergunakan sebagai dasar untuk Termohon melakukan Penahanan adalah tanggal 3 Desember 2022 sedangkan dalam dalam surat Perintah Penahanan disebutkan dasar surat Perintah Penahanan ini adalah Surat Perintah Penyidikan Nomor : Sp-Sidik/133/XII/RES.111/2022/Satreskrim tanggal 9 Desember 2022 akan tetapi sebagai Terlapor Pemohon tidak Pernah diperiksa sebagai saksi dan tidak diberikan Pemberitahuan tentang dimulainya Penyidikan.

 

Bahwa Termohon telah melakukan Perbuatan melanggar hukum yaitu Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Pencabutan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

 

Bahwa Pasal 1 angka 4 KUHAP, atas laporan/pengaduan tersebut mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

 

Bahwa pasal 5 ayat 1 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 yaitu Penyelidikan dilakukan berdasarkan Laporan dan atau Pengaduan dan surat Perintah Penyelidikan.

 

Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP-Sidik/133/XII/RES.1.19/2022/Satreskrim tanggal 9 Desember 2022, Termohon tidak pernah memanggil Pemohon untuk dilakukan pemeriksaan sebagai Terlapor atau calon Tersangka dalam proses Penyelidikan. Oleh karena itu Penangkapan dan Penahanan yang dilakukan Oleh Termohon melanggar undang-undang dan melanggar HAM sehingga patut untuk dinyatakan tidak sah

 

 

 

Bahwa Proses Penyelidikan dan Penyidikan Termohon Melanggar hukum dan tidak sah.

 

Bahwa Penyelidikan yang dilakukan Termohon bertentangan dengan Undang Undang selain karena tidak ada Dasar begitu pula dengan Penyidikan, Proses Penyidikan dilakukan tanpa melalui Proses Penyelidikan Terlebih dahulu.

 

Bahwa Pasal 1 angka 5 KUHAP menyatakan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan Penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tidak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan Penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang; Penyelidikan adalah suatu tindakan Penyidik dalam menentukan ada atau tidaknya tindak pidana dari suatu kejadian/peristiwa tersebut.

 

Surat Perintah penyidikan tersebut terlebih dahulu membahas tentang Penyidikan yang diamatkan didalam Kitap Undang- Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) didalam pasal 1 angka 2 KUHAP menyatakan Penyidikan adalah : Serangkaian tindakan Penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam Undang- Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan Tersangkanya  makna dari Penyidikan tersebut adalah harus terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan dari bukti-bukti tersebut kemudian baru ditetapkan Tersangkanya.

 

Bahwa dalam pasal 10 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 dijelaskan :

 

Kegiatan Penyidikan Tindak Pidana Terdiri atas :

Penyelidikan
Dimulainya Penyidikan
Upaya Paksa
Pemeriksaan
Penetapan Tersangka
Pemberkasan
Penyerahan Berkas Perkara
Penyerahan Tersangka dan barang Bukti dan
Penghentian Penyidikan

 

Bahwa Tindakan Termohon yang melakukan Upaya Paksa Penangkapan dan Penahanan yang seharusnya terjadi pada tahapan penyidikan adalah tidak dibenarkan baik oleh KUHAP maupun Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019.

 

Bahwa penetapan seorang Tersangka seharusnya berpedoman pada ketentuan Pasal 183 KUHAP, yaitu sama dengan syarat bagi hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang, yaitu sekurang-kurangnya berdasarkan 2 (dua) alat bukti yang sah, bahwa tindak pidana betul-betul terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan demikian, maka untuk menetapkan seorang menjadi Tersangka, penyidik sekurang- kurangnya mempunyai 2 (dua) alat bukti yang sah atas seluruh unsur dari pasal yang dipersangkakan bahwa tindak pidana itu betul-betul terjadi dan Tersangkalah yang melakukan perbuatan pidana itu;

 

Bahwa berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU- XII/2014, tanggal 28 April 2015, telah memberikan penjelasan dan penegasan dengan menyatakan “terhadap frase “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP haruslah ditafsirkan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan Terlapor / calon tersangkanya kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia).

 

 

Bahwa Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP-Sidik/133/XII/RES.1.19/2022/Satreskrim tanggal 9 Desember 2022 Termohon tidak pernah memanggil Pemohon untuk diperiksa sebagai saksi Terlapor atau calon Tersangka sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 1 angka 14 KUHAP yang dipertegas dan diperjelas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/ PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015. Oleh karena itu, merupakan bukti yang tidak dapat dibantah bahwa penetapan Pemohon sebagai Tersangka jelas melanggar Pasal 1 angka 14 KUHAP, sehingga selayaknya penetapan Termohon tersebut patut dinyatakan batal atau dibatalkan demi hukum.

 

Bahwa berdasarkan hal tersebut diatas jelas bahwa Penyelidikan dan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon adalah bertentangan dengan undang-undang dan melanggar HAM.

 

 

 

Bahwa PEMOHON Mengabaikan Perintah Restoratif Justice dalam Penyelidikan dan Penyidikan Kasus Pidana

 

 

Bahwa berdasarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 08 Tahun 2021 ini mengatur tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, yang akan digunakan sebagai acuan dasar penyelesaian perkara dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana guna dapat memberikan kepastian hukum, sebagaimana diatur tentang penghentian penyelidikan (SPP-Lidik) dan penhentian penyidikan (SP3) dengan alasan demi hukum berdasarkan keadilan restoratif. 

 

Bahwa Penanganan tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai mana dimaksud dalam pasal 1 ayat 3 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 08 Tahun 2021 adalah Penyelesaian Tindak Pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

 

Bahwa TERMOHON sudah menghalangi bahkan tidak memberikan kesempatan kepada Pihak PEMOHON untuk dapat terjadinya keadilan restorative sehingga PEMOHON merasa Termohon telah melanggar HAM PEMOHON dan ada dugaan rekayasa/kriminalisasi terhadap diri Pemohon.

 

 

 

 

 

 

 

BAHWA PERBUATAN PEMOHON BUKAN PERBUATAN PIDANA

 

Bahwa Perkara ini adalah hubungan keperdataan antara PEMOHON dengan Pihak Pelapor William Sutanto, Wahyudi (Kapolres Kota Kediri), Adi Suwono, dan AFU (Wibisono Wijayanto) terkait dengan pembelian saham (Investasi Saham perusahaan yang sedang IPO).

 

Bahwa terhadap Kerjasama investasi saham ini Pemohon Menerima dana masuk sebesar Rp. 12.420.270.500,- (dua belas milyar empat ratus dua puluh juta dua ratus tujuh puluh ribu lima ratus rupiah).

 

Bahwa terhadap keempat orang ini Pemohon sudah mengembalikan dana berikut keuntungan dengan nilai total Rp. 13.335.655.847,- (tiga belas milyar tiga ratus tiga puluh lima juta enam ratus lima puluh lima ribu delapan ratus empat puluh tujuh rupiah) yang dilakukan secara cash dan via transfer bank.

 

Bahwa Pemohon telah mengembalikan uang berikut dengan keuntungan kepada Pihak Willian Sutanto, AFU (Wibisono Wijayanto) dan Adi Suwono dihadapan yang diketahui oleh Kapolsek Kota Kediri Bapak Wahyudi, Kasat Reskrim Kota Kediri Tomy Prambana.

 

Bahwa selain Pengembalian Dana dan Keuntungan beberapa Asset milik Pemohon juga telah diambil dari kediaman Pemohon dan dibawa oleh AFU Wibisono Wijayanto dan William Sutanto dengan diketahui oleh Kapolres Kediri Kota Wahyudi dan Kasat Reskrim Kediri Kota Tomy Prambana, bahkan Kapolres Kota Kediri Bpk Wahyudi sendiri yang menelpon agar mengosongkan rumah untuk mengambil asset asset milik Pemohon. Aset-aset milik Pemohon yang dikuasai Willianm Sutanto dan AFU Wibisono Wijayanto tersebut berupa :

Sertifikat tanah di desa Ngancar, William mengambil sertifikat Tanah ditemani Kasat Reskrim Tomy Prambana tanggal 10 Nopember 2022 jam 8 malam tanah berada di Desa Ngancer Kabupaten Kediri seluas 9 Are
AJB Tanah di desa Turus Gurah seluas 15 RU dan 20 RU
BPKB motor PCX dan Vario
4 unit motor vespa
Emas Batangan 13 Gram
Cincin Berlian Frank & co
Jam tangan Tag Heuer

Bahwa dengan telah diterimanya pengembalian uang tersebut dan penyitaan beberapa asset milik PEMOHON dan penyelesaian keperdataan dengan adanya pengembalian uang dan pengambilan jaminan dan tidak adanya niatan PEMOHON untuk menguntungkan diri sendiri apalagi melakukan tipu muslihat sudah selayaknya Perkara ini menjadi perkara keperdataan.

 

Bahwa selain intervensi dari pihak Pelapor PEMOHON juga mengalami intervensi dari Pihak Termohon bahkan penyerahan uang dan juga penyitaan sertifikat dan AJB serta motor dan surat-suratnya tanpa disertai Berita acara penyitaan dan atau izin dari pengadilan negeri kota Kediri bahkan dilakukan juga terhadap istri dan keluarga PEMOHON dimana dilakukan Perampasan terhadap asset PEMOHON disaat PEMOHON tidak berada dirumah dan tanpa bukti serah terima maupun berita acara apapun.

 

Bahwa setelah menerima pengembalian dana dan barang berharga milik Pemohon, Pemohon langsung ditersangkakan tanpa ada proses penyelidikan dan penyelesaian restorative justice. Terkait Tindakan Termohon tersebut jelas telah melanggar Undang Undang dan melanggar HAM

 

 

PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.

 

Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

3.  Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’

4. Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).

5. Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

– dibuat sesuai prosedur; dan

– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaiman telah PEMOHON uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka PEMOHON dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

6. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan PEMOHON dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan

7. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON dengan menetapkan PEMOHON sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Kediri yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap PEMOHON dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

KESIMPULAN :

Berdasarkan uraian, dalil-dalil, fakta-fakta tersebut diatas maka PEMOHON berkesimpulan:

 

Bahwa TERMOHON telah bertindak sewenang-wenang mendholimi dan mengkriminalisasi PEMOHON secara Inkonstitusional dalam menetapkan Tersangka sehingga adalah berdasarkan hukum Apabila Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON harus dinyatakan Batal demi hukum dengan alasan-berikut ini :

 

Proses Penangkapan dan Penahanan PEMOHON Tidak sah.
Proses Penyelidikan dan Penyidikan Termohon Melanggar hukum dan tidak sah
Bahwa PEMOHON Mengabaikan Perintah Restoratif Justice dalam Penyelidikan dan Penyidikan Kasus Pidana
Bahwa Perbuatan Pemohon Bukanlan tindak Pidana melainkan Perdata
PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM.

 

 

PETITUM

 

Berdasar pada uraian dan fakta-fakta yuridis diatas, PEMOHON mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota kediri yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

Menyatakan permohonan PEMOHON Praperadilan diterima untuk seluruhnya;
Menyatakan tindakan Termohon menetapkan PEMOHON sebagai tersangka selanjutnya dilakukan  penangkapan dan penahan Termohon dengan dugaan Penggelapan dan atau Dugaan Penipuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan  Pasal 372 dan atau Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Timur resor Kediri kota adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri PEMOHON oleh TERMOHON;
Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan sebagai mana Surat  perintah penyidikan kepada PEMOHON;
Memulihkan hak PEMOHON dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Kediri yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

 

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kota Kediri yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya